Gal Gadot Mengancam Tak Akan Lanjut ke Sekuel Wonder Woman?

Ramainya isu yang tak sedap yakni pelecehan seksual pada pusaran Hollywood pasalnya mempengaruhi industry perfilmannya. Dan isu tersebut ikut menyeret nama besar yakni Brett Ratner yang mana seorang produser sekaligus juga sutradara. Sutradara handal tersebut dituding telah melakukan pelecehan seksual pada beberapa perempuan. Apa yang dilakukan oleh Ratner ini pasalnya bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh orang-orang besar di pusaran sineas Hollywood. Sebelumnya, aktor Kevin Spacey, James Toback, dan juga Harvey Weinstein pun sudah pernah diberitakan melakukan pelecehan seksual pada perempuan.

Tekad Bulat Meninggalkan Wonder Woman Jika…

Karena hal itu lah, dilansir dari CNN Indonesia, aktris yang sukses memerankan tokoh Wonder Woman, Gal Gadot, mengaku dirinya enggan untuk kembali membintangi film sukses superhero perempuan Wonder Woman. wanita yang berasal dari Israel tersebut sudah membuat sikap guna melawan dugaan pelecehan seksual yang mana dilakukan oleh Ratner dengan cara menolak terlibat lagi dalam film Wonder Woman yang mana akan dibuat sekuelnya.

Gadot sendiri disebut tidak akan mengubah apa yang sudah ia tetapkan tersebut kecuali sang sutradara, Ratner, benar-benar tidak dilibatkan dalam produksi alias dikeluarkan. Salah satu sumber anonim mengatakan bahwa Gadot sangat menentang adanya pelecehan seksual yang ada di Hollywood dan tidak ingin film yang dibintanginya memberikan sebuah keuntungan bagi pria yang mengidap riwayat kelainan seksual.

“Ia tangguh dan berpegang teguh pada apa yang sudah menjadi prinsip-prinsipnya. Ia juga sudah tahu cara yang terbaik untuk bisa memberikan pelajaran pada orang-orang seperti Brett Ratner,” ucap sumber itu.

Ingin Dukungan dari Warner Bross Juga

Sumber toto togel tersebut pun menambahkan bahwa Gadot pasalnya ingin Warner Bross juga mendukung dirinya dalam masalah yang saat ini tengah berkembang. Menurut dirinya, perusahaan tersebut tidak boleh membuat film yang mana mengangkat tema emansipasi wanita namun disutradarai oleh pria yang dituduh sudah melakukan tindakan seksual pada wanita.

Langkah yang dilakukan Gadot ini dirasa sangat tepat, karena mengingat pentingnya peran Wonder Woman dalam meraih kesuksesan di box office dan juga kritik yang mana sangat memuaskan dari para penggemar komik milik DC. Di sisi lainnya juga, film ini pun banyak menarik para penggemar baru.

Sebuah penundaan bisa mempertaruhkan keberhasilan yang mana sudah diciptakan oleh film tersebut. Penting juga untuk diketahui oleh masyarakat pecinta film bahwa film Wonder Woman pasalnya jadi suatu panggung serta gerbang untuk Justice League yang tayang mulai hari ini, Rabu (15/11), serta film-film DC Extended Universe yang lain kemudian hari.

Rumah produksi milik Ratner, RatPac-Dune Entertainment, pasalnya ikut memproduksi film perdana Wonder Woman. karya ini berhasil meraup banyak sekali keuntungan yakni sebesar $800 juta US Dollar atau setara dengan Rp. 10 triliun di seluruh dunia atau skala internasional. Dan tentu saja perusahaan milik Ratner itu mendapatkan keuntungan juga.

“Brett menghasilkan banyak sekali uang dari kesuksesan film Wonder Woman. sekarang Gadot sudah berikrar tak akan menandatangani kontrak untuk sekuel Wonder Woman apabila Warner Bross tak menyingkirkan Brett,” tukas sumber tersebut.

Meskipun demikian, pihak dari Gadot dan juga Ratner tak menanggapi masalah ini. dan sementara itu, perwakilan dari Warner Bros hanya menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar. Sebelumnya Gadot memang menanggapi polemic pelecehan seksual yang sedang marak terjadi di Hollywood tersebut. Dan ini lah yang menjadi suatu sinyal Gadot tak mau ikut andil lagi dalam sekuel Wonder Woman.

Anak-Anak Rohingya Hadapi Kematian Karena Kekurangan Gizi

Mohammad Sohail menangis tak terkendali saat ia menunggu untuk menemui dokter – salah satu dari ribuan anak-anak Rohingya berisiko mengalami kematian akibat malnutrisi bahkan setelah mencapai keamanan kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Ayahnya sendiri terbunuh dalam tindakan keras terhadap Muslim di negara bagian Rakhine Myanmar yang didominasi Muslim, memaksa ibunya Hasana Begum untuk melarikan diri bersama Mohammad dan saudaranya – bergabung dengan sekitar 610.000 orang Rohingya lainnya yang telah melarikan diri sejak Agustus.

Malnutrisi bagi Para Pengungsi

Keluarga tersebut sama dengan keluarga pengungsi dan anak-anak lainnya yang tidak makan dalam perjalanan selama tujuh hari saat mereka melintasi perbukitan dan melewati hutan ke perbatasan Bangladesh. Tentu sudah banyak korban yang berjatuhan selama perjalanan dari Rakhine ke Bangladesh. Baru berumur 21 bulan, rusuk Mohammad Sohail hampir menyodok kulitnya. Tangannya hanya kulit dan tulang.

“Kami berjalan berhari-hari melalui hujan deras, dingin dan panas. Kedua putra saya menderita demam dan diare dan sejak itu kehilangan nafsu makan,” Begum mengatakan kepada media. Setidaknya ada 50 anak tekenal malnutrisi lainnya seperti dia di unit medis kamp Balukhali. “Kondisi banyak anak ini sangat penting, sebagian besar orang tua mereka bahkan tidak mengerti tingkat permasalahannya,” kata paramedis Shumi Akhter.

Tim medis mendistribusikan paket makanan bayi gizi tinggi khusus sehingga bayi Rohingya dapat membangun beberapa otot. Tapi ini merupakan pertempuran yang penuh dengan keputusasaan. Ya, data anak-anak PBB dan UNICEF, memperkirakan bahwa 25.000 anak-anak di kamp-kamp Rohingya yang penuh sesak menderita gizi buruk yang bisa menjadi pembunuh utama.

“Anak-anak Rohingya di kamp – yang selamat dari kengerian di negara bagian Rakhine dan perjalanan yang berbahaya di sini – sudah terjebak dalam sebuah malapetaka,” kata Edouard Beigbeder, kepala negara UNICEF. Dia melanjutkan; “Mereka yang kekurangan gizi parah sekarang berisiko meninggal walau sebenarnya yang dapat dicegah dan dapat diobati. Anak-anak ini membutuhkan pertolongan sekarang,” kata Beigbeder.

Menjual Jatah Makanan

Perjuangan yang mereka lakukan tidak hanya tentang bagaimana mereka keluar dan melintasi berbagai medan hingga sampai ke Bangladesh, bagi janda seperti Begum yang tidak memiliki keluarga besar, mendapatkan makanan adalah pertempuran baru karena penjatahan antrian berlangsung antara enam dan delapan jam. “Saya tidak bisa membawa mereka untuk mengumpulkan bantuan karena saya tidak dapat membawa anak-anak saya dan karungnya yang berat,” kata wanita berusia 23 tahun itu.

Dia tidak bisa meninggalkan mereka di gubuk tarpaulin yang telah menjadi rumah mereka, karena tidak ada yang merawat Muhammad dan Nur Alam yang berusia tiga tahun. “Setiap tetangga sibuk dengan masalah mereka sendiri. Tidak ada yang punya waktu luang untuk mengasuh anak”. Ya, kunjungan ke gubuk pengungsian di Balukhali menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga pengungsi bertahan hidup dengan makan nasi dan kacang lentil, sesekali sayuran dan ikan kering.

“Makanan seperti itu tidak cukup untuk balita atau ibu menyusui. Di kamp ini, jumlah bayi yang kekurangan gizi sudah melewati garis gawat darurat,” kata petugas bantuan Fazle Rabbi kepada media. Para pekerja amal mengatakan bahwa situasinya diperburuk oleh para pengungsi yang menjual makanan kepada penduduk lokal Bangladesh untuk mengumpulkan uang tunai untuk barang-barang rumah tangga dan keperluan lainnya.

“Setiap hari kita membeli banyak makanan dari para pengungsi. Kita membayar uang tunai dengan imbalan nasi, miju-miju, gula, garam, minyak goreng, susu bubuk dan makanan bayi,” kata seorang pedagang besar dari Bangladesh di kota Ukhiya. Pengungsi yang mengaku menjual makanan mengatakan mereka membutuhkan uang tunai untuk membeli kayu bakar, pakaian, dan keperluan lainnya.